Monday 11 May 2020

Sosial Media

Pada zaman milenial sekarang ini, tekhnologi berkembang begitu pesat. Banyak memudahkan orang dalam memperoleh dan berbagi informasi. Namun ada sisi negatif dan sisi positifnya, tergantung bagaimana kita memanfaatkan kemajuan perkembangan tekhnologi tersebut. Seperti bagaimana memanfaatkan media sosial secara bijak. Ada banyak media sosial bermunculan seperti instagram, facebook, twitter, blogger, wordpres dan lain sebagainya. Kita bisa menggunakan media sosial tersebut untuk mempromosikan bisnis, mengajar online, saling berbagi informasi dan menginspirasi banyak orang. Itu dilihat dari segi positifnya. Bagaimana dampak negatif dari sosial media? Tentunya ada banyak sekali, maka dari itu perlu pendampingan khusus bagi anak-anak oleh orang tuanya supaya tidak kebablasan menggunakan sosial media. Karena bisa berdampak yang kurang baik, misalnya terjadinya aksi bully, main game secara berlebihan dan penculikan serta penipuan. Baik dan tidaknya sosial media adalah tergantung bagaimana kita memanfaatkan kegunaannya secara tepat sasaran.

Monday 18 October 2010

Metamorphosa bag 3

ACT 3


Kado.
Sudah banyak orang yang kukenal. Namun dia berbeda. Aku menamainya Kado, sebab dia datang dalam hidupku ketika tepat usiaku dua puluh, Maret beberapa tahun yang lalu.

Dia menabrakku disebuah toko buku, dengan suara lembutnya dia mengucapkan maaf dan kami pun berkenalan.
“Kedo Falen” ucapnya.
“Rindu” balasku.
Diam-diam aku menatap matanya yang jernih. Penampilan Kado biasa saja, hanya mengenakan kemeja yang terlihat besar dibadannya dan celana panjang warna cokelat yang terlihat sedikit kumal. Sepertinya dia adalah seorang mahasiswa yang rajin sebab tas ranselnya menurunkan pundak yang tegap dan berdada lapang itu. Kado tersenyum membuat perasaan menggelitik bercampur baur dengan rasa tak ingin tahu. Mataku melihatnya dari ujung rambut sampai ujung kaki, bahwa Kado adalah lelaki yang memiliki kekurangan tentang tinggi badan. Jika kami berdiri berdekatan, ada jarak beberapa centi antara kepalaku dengan kepalanya.

“Maaf, saya ke atas dulu,” ujar Kado. Aku mengangguk. Sejujurnya aku tahu alasan apa yang membuatnya ingin cepat-cepat jauh dariku. Dan aku sungguh tidak peduli sama sekali. Ketika sampai ditangga, Kado menoleh ke arahku. Aku hanya melihatnya sekilas untuk membalas pandangannya, kemudian aku berjalan maju untuk mencari buku ramalan zodiac. Mataku melotot ketika yang terbaca adalah; pisces hari ini adalah hari keberuntunganmu. Aku tidak percaya namun sesekali aku menggunakan hal seperti ini untuk menghiburku. Dari rasa sepi yang tiba-tiba muncul bahkan dapat menenggelamkanku pada masa hidup yang tak ingin kulalui.

“Hai” sebuah tangan yang agak hangat itu menyentuh punggungku dengan tepukkan lembut. Gerakan yang spontanitas berusaha menangkisnya namun tak berhasil kucengkram tangannya.
“Galak amat bu?” ujarnya dengan senyum yang melebar.
“Kamu?” aku menunjuknya dengan jari telunjukku. Dia Kado. Aku menghela nafas.
Ada apa?” tanyaku.
“Aku ingat sesuatu, sepertinya aku kenal kamu deh,” bola matanya berputar seolah dia mengingat sesuatu.
“Ah, ya. Bukankah kamu Rindu yang nulis itu yah?” lanjut kado.

Nulis? Aku diam sejenak sambil memandanginya. Aku tidak pernah bercerita pada siapapun tentang aku yang gemar menulis dan aku yang ingin menjadi penulis. Sungguh aku tidak mengenal dirinya, aku hanya bertemu dengannya saat ini saja. Hatiku bergejolak. Dia memang menyebalkan dan sok akrab, langkah kakiku ingin segera menuntunku pergi dari ruangan ini.

“Selamat ulang tahun!” Kado mengulurkan tangannya, menyodorkanku sebuah buku yang agak lusuh sampulnya. Aku ternganga, bukan takjub tapi sepertinya hidupku dalam khayalan. Bagaimana mungkin, seseorang yang baru kenal memberiku ucapan selamat ulang tahun yang aku sendiri ingin melupakan apa itu arti ulang tahun dan aku tidak peduli apa itu tambah dewasa dan menjadi dewasa.

“Maaf,” tiba-tiba aku merasa tidak senang. Segenggam paku seolah menusuk jantungku, entah kenapa. Aku tidak suka orang lain mencampuri apa yang menjadi urusan hidupku, apalagi dia orang yang tidak pernah mengenalku. Aku beranjak meninggalkannya, Kado tetap mengikutiku seperti tahananku. Aku berhenti di sisi jalan depan toko.
“Kamu mau es krim?” Kado mengusikku.
Aku diam tak bergeming.
“Aku tidak mengenal kamu,” balasku.
“Aku juga tidak mengenalmu, tapi sepertinya aku pernah kenal kamu. Entahlah wajahmu itu gak asing bagiku.”
“Soal ulang tahunmu, bukankah kamu menulisnya jelas-jelas di jam tanganmu itu?” lanjut Kado.

Aku melirik jam tanganku. Betapa bodohnya aku, ceroboh. Aku kira dia benar-benar mengenalku. Perasaanku mencair, membuat hatiku terbuka sedikit untuk menerima seorang sahabat. Bibirku mulai ramah untuk menunjukkan senyum manisku, tapi aku pikir ini hanyalah sebuah basa-basi. Dia menyodorkan kembali buku dengan sampul lusuhnya itu.

“Ambillah!” katanya. Bola mataku berputar sambil menatap buku itu, sungguh tidak mengasyikan mendapat hadiah buku lusuh dari teman baru di hari ulang tahun. Aku membuang nafas, menganggukan kepalaku pertanda ya baiklah aku hargai usahamu membuntutiku.

“Sekarang aku akan traktir kamu makan es krim, gimana?” tanyanya. Aku menatapnya sejenak dengan sorot mata yang banyak tanya terhadapnya. Emangnya kamu banyak uang? Emangnya aku mau menerima traktiran dari orang asing? Cukup sudah buku lusuhmu itu sebagai tanda perkenalan kita. Mataku menyipit melihat senyumnya, enak sekali melihatnya seperti itu. Dia tampak bebas melakukan apa pun yang dia mau, dan aku suka. Aku menyanggupi ajakannya.

“Kado?” ujarku.
“Kedo,” balasnya.
“Aku panggil kau Kado,” jawabku.
“Ya, asal kau suka saja lah,” balasnya pasrah.

Aku tersenyum. Untuk pertama kalinya, senyumku serasa menawan sebab tidak ada beban yang tersirat dalam benakku. Entah mengapa aku suka dia mengalah untukku. Pesanan es krim pun tiba, aku memesan rasa coklat dan Kado rasa Vanila. Percakapan kami makin seru dan dia orang yang cukup menyenangkan. Disela-sela pembicaraan kami, telepon genggam Kado berdering. Kado mengangkatnya, berdiri agak menjauh dariku. Setelah beberapa menit dia mengatakan bahwa dia harus segera pergi dan buru-buru menghabiskan es krim vanilanya.

“Ok, Rindu sampai ketemu lagi ya,” ujarnya. Aku hanya melambaikan tangan, membiarkannya berlalu. Suasana mendung kembali menyelimuti hatiku, apa artinya ini? Aku menunduk dalam, teringat Kado dan secara tidak sadar darahku mencair membangkitkan otot-otot yang kaku. Aku harus semanagat!       

 

Tuesday 12 October 2010

METAMORPHOSA bag 2

Act 2

Aku termenung setelah meraba dompetku. Di sana terpajang photo kecilku dengan sepupu lelakiku. Dia tersenyum dengan tangan menjewer telingaku, aku terlihat meringis kesakitan namun tetap bergaya dengan ibu jari terangkat ke atas. Itu adalah hasil photo film zaman dulu karya tetangga usilku yang baru pulang merantau dari Jakarta. Aku duduk sambil memandangi photo itu, dan dengan jelas aku masih mengingat masa itu.

Langit yang terang tak menandakan adanya petaka, desiran angin menggoyangkan rumput yang lemas melayu. Suara tangisan memenuhi seisi rumah yang ber-cat putih itu. Sekelompok orang seakan berlomba untuk memenangi tangisan terdahsyat pada hari itu. Tentu saja yang menang adalah sanak keluarga yang telah ditinggalkan. Di desa itu telah terjadi sebuah peristiwa yang biasa dan akan dialami oleh semua orang. Kematian.

Perempuan itu menangis tanpa henti, berulang kali memanggil nama anaknya yang sudah terbujur kaku dihadapannya. Beberapa wanita lain memegangi tangannya dan mengelus kepalanya. Seorang lelaki yang sedari tadi diam akhirnya pecah juga suara tangisnya. Begitu juga dengan yang lain, kesedihan itu menular begitu cepat. Hanya aku di sini yang masih bingung dengan semua yang sudah terjadi. Bingung karena sepupuku terdiam membisu dengan wajah pucat pasi dan dada yang berwarna hitam.

Dua jam lalu, kami masih bermain bersama, menunggui ibuku yang sedang memasak ayam goreng dan tempe bacem. Sebab besok musim tanam padi sudah dimulai, tiba saatnya bagi kami keluarga petani untuk bercocok tanam. Kami saling berceloteh dan akhirnya makan mangga. Tiba-tiba sepupuku merasa seluruh tubuhnya panas kemudian melucuti semua pakaiannya. Lalu diam sejenak, menunduk selanjutnya tidak bereaksi apa-apa kaku dan dingin. Dan semua orang pun menangis. Aku menangis karena kata bibiku aku takkan pernah bisa lagi bermain dan berceloteh dengan sepupuku. Dia pergi untuk selamanya.

Sekarang baru aku mengerti bahwa sepupuku itu menderita penyakit jantung. Selang beberapa tahun dari kematian sepupu lelakiku Ayahku meninggal. Tak terasa air mataku jatuh membasahi pipi. Aku menutup dompetku dan menyimpannya di laci meja. Ada sebuah rasa yang tak bisa kujelaskan dengan kata-kata, teramat pilu dan menyesakkan dada. Satu per satu orang yang aku sayangi pergi meninggalkanku selamanya. Dan aku hanya ingin dicintai, itu sudah cukup.

*
Waktu masih menunjukkan pukul sepuluh pagi. Aku masih diam di dalam kamar tak tahu tujuan yang pasti akan melakukan kegiatan apa. Profesiku hanya seorang penulis lepas, entah itu artikel, cerpen, lomba-lomba penulisan aku borong asal ada hubungannya dengan dunia tulis menulis. Soal bayaran asal dimuat pasti dapet uang. Sejujurnya aku tidak tahu kapan pastinya gemar menulis. Mungkin ketika aku tak punya teman selain pensil dan buku, mungkin juga waktu kakakku membuatku menangis disudut kamar, atau mungkin juga gara-gara iseng masukin cerpen di majalah dan dimuat lalu dapat voucher gratis. Aku pastikan semua itu benar. Dan satu lagi yang pasti benar adalah bahwa aku hanya ingin menjadi seorang penulis. Jangan menertawakanku.

Entah mengapa hidup bagiku hanya seperti sebuah lelucon. Yang kadang akan terasa sangat pahit dan akan berubah menjadi manis. Aku muak tetapi tak bisa menghindar, apalagi saat kau tak punya siapa-siapa untuk dijadikan sandaran. Dunia ini terasa sangat sempit dan tak bervariasi. Sekelompok orang akan menghujatmu, sebagian orang akan memujimu, dan sebagian lagi akan tidak mempedulikanmu. Apa kau ingin menangis? Aku benar-benar merasakan sakit yang luar biasa dikepalaku. Ingin aku melepaskan hidup dengan damai namun Ibuku membayangiku. Dan juga dia. Seseorang yang menyambut tanganku dengan penuh sukacita, mengangkatku dari rasa sesal yang teramat dalam. Dia seseorang yang selalu merasuk dalam kalbuku, kemungkinan aku menyukainya. Kado, itulah namanya. Rasa sakit dikepala perlahan berkurang dan aku mengingat sesuatu bahwa aku ada jadwal pertemuan dengan salah satu penerbit untuk menerima hasil keputusan atas novelku.

METAMORPHOSA bag 1

METAMORPHOSA
By: Lani



Kupersembahkan untuk orang-orang yang aku cintai ^_^

Act 1

“Helo!” sapanya. Lama kita berpisah, kini kamu kembali, kita berjumpa lagi. Kamu masih sama seperti dulu yang membuat ribuan penasaran tertanam dibenakku. Kamu melambaikan tangan kearahku, inginku segera berhambur memeluk dadamu yang lapang. Lalu tanganmu mengusap kepalaku dan memberantakkan poniku. Pipiku menggelembung, ingin berteriak “aku bukan anak kecil.”
“Apa kabar?” tanyanya.
“Baek, kamu?” tanyaku.
“Buruk tanpa kamu,” jawabnya.
Aku menoleh kemudian mesem, berasa ada sayap yang tiba-tiba tumbuh pada kedua punggungku.

Kami bergandengan tangan, berjalan menyusuri jalan dengan keteduhan pepohonan yang rindang. Tidak perlu diucapkan namun aku tahu dan dapat merasakan apa yang ada disudut jiwanya. Mencintainya sungguh membuat hidupku penuh tinta yang mampu membuat nafasku lebih berarti. Dia memelukku erat diantara hembusan angin yang mengangkat rambut panjangku.

Gubrakh!
Auw, teriakku. Aku terjatuh dari ranjang, ternyata hanya mimpi. Mataku melirik pada jam dinding yang menunjukkan pukul setengah dua dini hari. Aku membuang nafas, bangkit dan menarik selimut lagi. Kenapa harus dia? Hoam. Semua ada waktunya, terkadang kita yang tidak sabar dengan perjalanan sang waktu yang seperti melambat. Aku gelisah. Sejujurnya aku sangat kangen dia. Entah angin apa yang membuat seluruh tubuhku dipenuhi rasa dingin hingga kumengumpat rapat-rapat dibalik selimut. Tanpa kusadari semua gelap, tak ada bulan tak ada bintang. Hanya ada aku yang sedang memilih mimpi.

Mataku silau tertembus sinar kuning keemasan dipagi hari. Perlahan mata ini terbuka, berkeliling. Ini baru kenyataan hidup, gumamku. Kenyataan yang tak seindah mimpi. Dia yang sangat jauh dariku namun selalu dekat dihati. Apakah hanya sebuah perasaan bisa menjanjikan sebuah kebahagiaan? Aku hanya bisa memeluknya dalam mimpi. Berharap menjadi kenyataan, menjemput cinta yang menunggu selalu menunggu.

Handphoneku berdering. Ibuku. Segera kuangkat telepon itu.
“Ya, Bu,” jawabku.
“Sudah sarapan belum?” jawabku sambil terkekeh.

Air mataku tertahan. Apa bedanya cinta dan kasih sayang? Dalam sejenak karena cinta aku melupakan kasih sayang ibuku yang sedari bayi tanpa pamrih mengasuhku. Aku melihat sebuah kotak di meja sebelah televisi, kotak yang kecil seperti bentuk balok kubus. Kau tidak akan menyangka bahwa di dalam sana lumayan luas untuk menampung barang-barang untuk ibuku. Ada sekotak susu, satu bungkus gula, teh, dan kopi. Aku menarik nafas, tersenyum sumringah. Hanya ini yang bisa kutitipkan pada ibuku. Tidak berharga memang, gumamku. Beberapa menit kemudian, aku mengantarkan kotak itu pada salah satu temanku untuk dititipkan. Dalam perjalanan sekilas kulihat wajah seseorang. Wajah dengan tangan yang ingin kurengkuh sejak dulu. Wajah yang membuatku berasa hidup menjadi lebih hidup lagi. Wajah yang hanya bisa kukhayalkan selama ini. Dia menoleh, angin segar menerpa wajahku. Dia tersenyum aku makin tersipu. Dia…

“Woi!,” seseorang menepuk pundakku. Aku kaget.
“Ah kamu, hampir jantungku copot deh,” ujarku.
“Mana titipannya?” tanya temanku. Aku menyodorkan kotak itu.
“Aih, kecil banget! Niat ga sih perhatian ma nyokap?” temanku nyengir.
“Heh, kayak kamu udah jadi anak baik aja,” balasku.

Hmm, mataku berkeliling. Dia sudah tidak ada, menghilang begitu saja. Tersirat rasa kecewa diwajahku.

“Kenapa?” tanya temanku.
“Gak apa. Kalo udah nyampe rumah telpon ye!”
“Sip deh,”

Aku beranjak pergi dengan rasa yang tak menentu. Dadaku bergemuruh. Disamping sana rumput dan bunga-bunga bergoyang menyambut pagi. Halo pagi! Ucapku penuh semangat dan akhirnya menyadari bahwa diriku adalah orang yang baru bangun tidur dan sudah mondar-mandir kesana kemari dengan keadaan masih lusuh khas bangun tidur. Xixixixixi :p


baru act first gak tau mau dilanjut kapan, tapi pasti dilanjut ^_^

Thursday 30 September 2010

Ibarat Mawar Berduri

Pda acara pesta pernikahan teman saya bulan lalu, saya tidak sempat datang karena bentrok dengan jadwal saya yang lain. Lalu saya bertanya siapa yang mendapatkan lemparan bunganya? Ternyata keponakannya. Pakai bunga apa? Mawar putih.

Tuing! Pikiran saya diam sejenak.
Bunga sangat indah dipandang mata, apalagi kalau berwarna-warni akan semakin indah. Akan lebih indah dan menyenangkan lagi apabila Anda mampu memetiknya sendiri dipohon. Tetapi hati-hati jika ingin memetik bunga mawar karena tanpa kau sadari duri-duri disekelilingnya tidak segan-segan akan melukaimu jika tak berhati-hati. Namun, jika Anda mampu mengatasi duri-duri itu maka Anda akan mendapatkan mawar yang cantik dan menawan. Kemudian Anda akan menaruhnya di meja samping tempat tidur, keesokan paginya bunga itu tak sesegar waktu habis Anda petik kemarin sore.

Begitulah jodoh seseorang diumpamakan. Akan lebih menyenangkan dan manis jika Anda mampu menemukannya sendiri melalui proses dan pengenalan yang cukup. Mengenali dirinya, keluarganya, hobinya, dan teman-temannya yang sesekali akan menghiburnya dan bertumbuh dengannya.

Wanita ibarat bunga yang dengan susah susah payah didapatkan (yang berkualitas) kemudian dengan mudahnya dicampakkan (tidak semua wanita). Apalah arti dari semua duri-duri itu? Toh tidak ada yang perduli bukan! Tetapi wanita adalah sosok makhluk yang unik dan menarik. Seperti mawar yang selalu menarik perhatian para kumbang dan lebah.

Mawar merah, putih, kuning, ungu, jingga sungguh tiada beda sebab tetap masih dalam satu sebutan yaitu bunga mawar. Wanita dalam berbagai bentuk adalah sama "wanita" Yang membedakan adalah duri-durinya, tameng-tamengnya, kepribadiannya, dan campuran karmanya untuk bertemu dengan jodohnya.

Masih berminat memberi saya mawar??

Ah, jangan dong! lebih baik kasih saya buku. wakakakakakak ^_^